Selasa, 15 September 2009

so long ...

Assalamualaikum wr wb
lama banget rasanya tidak walking blog lagi....
udah kangen......
sambil nunggu pak Ade ngirim kop surat buat revisi program KUPP coba-coba ngupdate blog, emang blg sekarang udah ketinggal dari facebook, tapi sebagai media awal pembelajaran online, tetap keberadaannya mesti diperhatikan.
semoga masih ada waktu tersisa untuk tetap update content blog ini,
Amiii..nnn
Wassalam

[+/-] Selengkapnya...

Jumat, 12 Juni 2009

soal bahasa inggris

caliak soal ndak, caliak se diko

download

[+/-] Selengkapnya...

Sabtu, 23 Mei 2009

Neo-Liberal

PADA suatu hari yang tak diumumkan, menjelang tahun 2009, neo-liberalisme terjerembap. Tapi lakon dengan tema ”Negara & pasar” itu tetap tak mudah diselesaikan.

Di Australia, misalnya. Kevin Rudd, perdana menteri yang berasal dari Partai Buruh, menulis sebuah esai dalam The Monthly awal tahun ini: krisis yang sekarang menghantam dunia adalah titik puncak ”neo-liberalisme” yang mendominasi kebijakan ekonomi dunia sejak 1978. Kini, masa kejayaan 30 tahun itu berakhir dengan kegagalan.

Sepanjang zaman itu, di bawah pemerintahan Partai Liberal yang baru saja jatuh, perekonomian dibiarkan menolak peran aktif Negara. Pasar diyakini sebagai jalan lurus yang tak perlu diintervensi. Lalu lintas global (terutama dalam pasar saham dan uang) dibebaskan menerobos perbatasan nasional.

Menjelang akhir 2008, ortodoksi ”neo-liberal” itu membawa krisis yang dahsyat. Rudd menggantikannya dengan yang berbeda. Ia menyebut agenda baru yang mendasari kebijakan ekonomi yang akan ditempuh Partai Buruh di Australia sebagai ”kapitalisme sosial-demokratik”.

Tak begitu jelas, bagaimana kompromi antara ”sosial-demokrasi” dan ”kapitalisme” itu akan berjalan. Rudd, yang menjanjikan peran Negara yang aktif tapi yang tetap bertaut dengan ”pasar yang terbuka”, hanyalah salah satu dari artikulasi kesepakatan yang kini tumbuh di negeri-negeri kapitalis: ternyata pasar tak bisa selamanya dianggap benar; ternyata ia belum tentu memperbaiki dirinya sendiri. Di Prancis, di sebuah rapat umum di Kota Toulon menjelang akhir 2008, Presiden Sarkozy mengatakan, ”Pikiran bahwa pasar adalah serba-kuasa dan tak dapat ditentang oleh aturan apa pun dan oleh intervensi politik macam apa pun adalah pikiran yang gila.”

Sebuah kesimpulan yang tak baru, sebenarnya. Pada 1926 John Maynard Keynes menulis The End of Laissez-faire dan menunjukkan betapa produktifnya sebuah kapitalisme yang dikelola, bukan yang dibiarkan berjalan seenak nafsu para kapitalis sendiri. Tak lama sejak itu, Amerika dan Eropa mencoba menggabungkan dinamisme modal dan kecerdasan teknokrasi Negara—sebuah jalan tengah yang terkenal sebagai ”kompromi Keynesian”.

Adakah kini sebuah ”kompromi Keynesian” baru sedang tersusun? Kita memang melihat, Amerika Serikat, di bawah Obama, telah jadi sebuah republik di mana pemerintahnya aktif masuk ke dunia yang dulu sepenuhnya daulat swasta. Tapi Obama masih bisa disebut sebagai ”kompromi Keynesian” yang setengah hati. Bahkan para pengkritiknya melihat agendanya sebagai ”neo-liberalisme” yang didaur ulang.

Mungkin karena tak bisa orang mengulang apa yang terjadi di dunia pada zaman Keynes hampir seabad lalu.

Dalam Radical Philosophy (Mei/Juni 2009) Antonio Negri menunjukkan mengapa jalan Keynesian kini mustahil. Dulu jalan itu dapat ditempuh karena, antara lain, ada sebuah negara-bangsa yang mampu secara independen mengembangkan kebijakan ekonomi. Kini, pada abad ke-21, negara-bangsa diterobos oleh proses internasionalisasi di bidang produksi dan globalisasi finansial.

Dalam pengalaman Indonesia, persoalannya bukanlah hanya karena terobosan itu. Jalan Keynesian bertolak dari keyakinan bahwa kekuatan yang bukan-pasar (Negara dan para teknokratnya) harus—dan bisa—memiliki ketahanan untuk mengembangkan nilai yang berbeda dari nilai yang berlaku di pasar. Adapun nilai yang berlaku di pasar adalah nilai yang mendorong maksimalisasi kepentingan privat, bukan kepentingan publik. Tapi bagaimana hal itu akan terjadi di sini?

Di sini, institusi yang berkuasa tak dengan sendirinya jauh dari nilai yang mengutamakan yang publik. Korupsi adalah contohnya. Korupsi adalah privatisasi kekuasaan sebagai sebuah amanat publik.

Agaknya itulah sebabnya tiap kebijakan yang mengandalkan intervensi Negara ke dalam perekonomian selalu disertai rasa waswas: kita tak tahu di mana Negara berada. Rasa waswas itu menyebabkan ada dorongan yang kuat—dari mana saja, juga dari pemerintah sendiri—untuk melucuti tangan birokrasi di pelbagai bidang. Ketika seorang politikus berteriak, ”awas neo-liberalisme dan pasar bebas”, sang politikus umumnya tak menunjukkan bagaimana menegakkan Negara di atas aparatnya yang tertular oleh perilaku berjual-beli di pasar bebas.

Krisis negara-bangsa seperti itulah, krisis karena tubuhnya berlubang-lubang oleh korupsi, yang sebenarnya lebih merisaukan ketimbang gerakan separatis. Dalam krisis itu, orang akan menyerah ke sejenis laissez-faire—ke sebuah kondisi ”neo-liberal” yang tak disengaja. Sebab, hampir di tiap sektor, juga di kalangan birokrasi, ada semacam ”anarki” yang dicemaskan Keynes. Anarki, karena apa yang merupakan pegangan kebersamaan hampir-hampir tak ada lagi.

Tapi tak berarti bahwa negara-bangsa telah disisihkan. Justru sebaliknya: dalam keadaan ketika korupsi merajalela, ada sebuah kekuatan yang paradoksal yang bekerja di sekitar Negara. Di satu pihak, kekuatan itu cenderung mengaburkan posisi ”Negara” dalam mengelola pasar: semua keputusan bisa diatur dengan jual-beli kekuasaan. Di lain pihak, posisi ”Negara” justru diperkuat, agar ada kebutuhan untuk membeli kekuasaan itu.

Itu sebabnya kita sebenarnya tak tahu persis, bagaimana mengatur ”kompromi Keynesian”, bagaimana mengelola sekaligus pasar yang terbuka dan Negara yang aktif. Tapi orang-orang masih terus berbicara tentang ”neo-liberalisme”. Ya, saya mendengar, tapi harus saya akui, saya sering kebingungan. Mungkin karena saya menanti lakon ”Negara & pasar” itu berakhir dengan Negara yang bersih dan pasar yang tak cemar. Sebuah happy ending.

~Majalah Tempo Edisi 04 Mei 2009~

[+/-] Selengkapnya...

Thersites

Demokrasi dimulai dengan seorang buruk muka yang dipukul punggungnya. Namanya Thersites, tokoh yang tak banyak dikenal dalam puisi Iliad karya Homeros dari sekitar abad ke-9 Sebelum Masehi.

Dalam kisah para raja dan pangeran yang membawa ribuan prajurit untuk berperang mengalahkan Kota Troya ini Thersites dilukiskan sebagai ”lelaki paling jelek” dalam pasukan. Kakinya lemah sebelah, pundaknya melengkung, rambutnya tinggal beberapa helai di ubun-ubun. Tapi yang menyebabkan ia dicatat dalam Iliad adalah ”lidahnya yang tak terkendali”. Ia mengecam mereka yang berkuasa.

Pada suatu saat, setelah bertahun-tahun perang tak selesai, Thersites mendamprat Raja Agamemnon.

”Agamemnon,” teriaknya dengan suara melengking, ”sekarang apa yang membuat diri tuan rusuh, apa lagi yang tuan inginkan? Tenda tuan penuh dengan logam berharga dan perempuan jelita, sebab tiap kali kami taklukkan kota kami persembahkan jarahan itu kepada tuan.”

Thersites tampaknya adalah suara yang lelah perang—yang merasa bahwa orang bawahan macam dia hanya menanggungkan rasa sakit. Maka serunya pula kepada sang raja: ”Tuan tak berbuat baik, dengan membiarkan bangsa Achaea yang tuan perintah jadi sengsara.”

Ketika Agamemnon tak menyahut, Thersites pun berseru kepada sejawatnya: ”Marilah kita berlayar pulang, dan tinggalkan orang ini di Troya”.

Mendengar itu, salah seorang sekutu Agamemnon, Odysseus, mendatanginya. Raja Ithaca ini marah. ”Jaga mulutmu, Thersites! Jangan kau ngoceh lebih jauh. Jangan kau cerca para pangeran bila tak ada yang mendukungmu….”

Dan Odysseus pun memukulkan tongkat keemasannya ke punggung Thersites. Laki-laki itu tersungkur, bengkak dan berdarah.

Tapi orang-orang tak menolong Thersites; mereka malah menertawakannya ketika si mulut tajam itu menangis kesakitan….

Sejarah demokrasi mendapatkan perumpamannya dalam kisah orang yang dipukul dan ditertawakan itu. ”Demokrasi,” kata Rancière dalam 10 tesisnya tentang politik, ”adalah istilah yang diciptakan oleh musuh-musuhnya.”

Kata demos bermula sebagai ejekan bagi yang tak ”punya kualifikasi” memerintah. Menurut Rancière, dari tujuh axiomata atau syarat-syarat memerintah yang disusun Plato ada empat yang bersifat alamiah, semuanya berdasarkan kelahiran. Maka yang tua punya dasar untuk berkuasa atas yang muda, majikan atas hamba, bangsawan atas petani. Plato juga menyebut syarat kelima: kekuasaan yang kuat atas yang lemah, dan syarat keenam: kekuasaan mereka yang punya pengetahuan atas mereka yang tidak.

Yang menarik ada axioma ketujuh dalam Plato: ”pilihan tuhan”. Lantaran dewa atau Tuhan tak bisa ditebak, kekuasaan yang disebut karena ”pilihan tuhan” datang melalui sejenis undian. Dalam demokrasi tak ada kualifikasi apa pun bagi yang memerintah, kecuali, dalam kata-kata Rancière, ”semata-mata kebetulan”. Tak ada prinsip yang sudah siap dalam mengalokasikan peran sosial.

Dengan kata lain: demokrasi, bagi musuh-musuhnya, adalah kekuasaan yang awut-awutan, pemerintahan para Thersites yang bermuka buruk yang pantas dipukul dan ditertawakan.

Perlu ditambahkan di sini: mereka ini—setidaknya dalam kisah Yunani kuno—tak hanya yang berasal dari kelas sosial lebih rendah. Pada mulanya, kata demos memang mengacu ke ”mereka yang tak berpunya”. Tapi di satu bagian Buku XII Odysseus disebutkan bagaimana Polydamas mengeluh karena pendapatnya tak diacuhkan Hektor—meskipun keduanya pangeran Troya dan saudara sekandung.

Rakyat, atau demos, dengan demikian bukanlah himpunan tertentu satu kelompok penduduk. Rakyat adalah pelengkap penyerta justru dalam arti mereka tak bisa serta. Rakyat adalah siapa saja yang jadi bagian yang tak masuk bagian, himpunan yang tak masuk hitungan, le compte des incomptés.

Ada yang paradoksal di sini: di satu pihak, rakyat melengkapi bangunan kekuasaan; di lain pihak, rakyat ada di luarnya. Dalam paradoks itulah politik, sebagai perjuangan, lahir. Sebagai pelengkap, mereka yang tak masuk hitungan itu dibutuhkan. Tapi ketegangan terjadi ketika pada saat yang sama mereka ditampik dan pemisahan ditegakkan, ketika kekuasaan yang ada menentukan mana yang bisa didengar (atau dilihat) dan mana yang tidak.

Tapi kekuasaan yang demikian tak mengakui bahwa selalu ada yang gerowong yang tak tercakup oleh garis pemisah yang diletakkan dari atas. Dari yang gerowong itulah semburan terjadi. Dari gerowong itulah politik bangkit. Thersites bersuara dan ia dipukul, ditertawakan, dan diabaikan—tapi bukankah dengan demikian kita tahu ada liang kosong dalam wibawa Agamemnon dan keutuhan bangsa Achaea, dan bahwa Odysseus tak ingin ditinggalkan sendiri di ambang Perang Troya?

Tentu, Thersites seorang diri; ia bukan subyek sebuah laku politik. Tapi gugatannya adalah gugatan yang wajar bagi siapa saja yang merasakan ketidakadilan dan aniaya. Politik sebagai perjuangan selalu menyerukan panggilan yang universal—dan itu sebabnya dari gerowong itu terjadi gerak kolektif yang bisa dahsyat.

Maka kini kita lebih dekat ke Thersites ketimbang ke Odysseus. Tapi ini juga karena kita (bersama Thersites) tak tahu apa sebenarnya yang hendak dicari orang macam Agamemnon.

Kita hanya tahu, Perang Troya yang bertahun-tahun itu bermula karena istri sang raja melarikan diri ke pelukan orang lain. Pada mulanya adalah ego—yang akhirnya menentukan segalanya. Hanya dengan kebrutalan yang luar biasa proses itu bertahan. Dalam arti itu, kisah Homeros bukanlah sebuah epos; ia sebuah tragi-komedi: sebuah kisah kekuasaan yang gila dan ganjil, di mana seorang Thersites tak bisa serta, tak mau serta.

~Majalah Tempo Edisi Senin, 11 Mei 2009~

[+/-] Selengkapnya...

in Batam






Assalamualaikum...
tanggal 18 Mei kemaren ada kesempatan ke Batam (jadi juga ke kota ini) dalam rangka Orientasi Teknis Pendidikan Kesetaraan Bagi Penyelenggara....
Berikut ada beberapa phota yang bisa diambil di Batam, ada Photo jembatan Barelang, photo sama cs, photo ladang pohon Naga orang dan lain-lain..

[+/-] Selengkapnya...

Sabtu, 09 Mei 2009

Estaba La Madre..

”Ibu itu di sana, berdiri, berkabung…”

Kesedihan terbesar mungkin bukan kesedih­an manusia karena Tuhan mati, tapi kesedihan seorang ibu yang anaknya menemui ajal dalam penyaliban.

Pada zaman ini kesedihan besar itu tetap tak terban­dingkan. Tapi pada saat yang sama juga menyebar. Kini tak hanya satu ibu yang sedih, dan tak hanya satu anak yang disalibkan.

Kita ingat Argentina, 1976-1983. Negeri ini hidup di bawah titah pemerintahan militer yang menculik dan melenyapkan ribuan orang, termasuk anak-anak muda. Diperkirakan 30 ribu orang hilang.

Renee Epelbaum, misalnya, seorang ibu, menemukan bahwa anak sulungnya, Luis, mahasiswa fakultas kedokteran, diculik. Tanpa sebab yang jelas. Itu 10 Agustus 1976. Takut nasib yang sama akan jatuh ke kedua anaknya yang lain, Lila dan Claudio, Renee pun mengirim mereka ke Uruguay. Tapi di sana mereka justru dikuntit sebuah mobil dengan nomor polisi Argentina—dan akhirnya, 4 November 1976, Lila dan Claudio juga lenyap.

Bertahun-tahun kemudian, seorang perwira angkat­an laut menceritakan apa yang dilakukannya terhadap anak-anak muda yang diculik itu. Pada suatu saat mere­ka akan dibius dan ditelanjangi. Para serdadu akan mengangkut mereka ke sebuah pesawat. Dari ketinggian 4.000 meter, tubuh mereka akan dilontarkan hidup-hidup ke laut Atlantik, satu demi satu….

Komponis Argentina, Luis Bacalov, pernah hendak mengingatkan orang lagi akan zaman yang buas itu. Ia menciptakan sebuah opera satu babak, Estaba la Madre. Saya tengok di YouTube: di adegan pertama, ketika perkusi dan piano mengisi kesunyian dan pentas gelap, tampak laut. Makam yang tak bertanda itu muncul seje­nak di layar. Kemudian: wajah, puluhan wajah. Di antara itu, sebuah paduan suara yang semakin menggemuruh.

Tapi bukan sang korban yang jadi fokus opera ini, melainkan sejumlah perempuan yang tak lazim. ”Inilah orang-orang gila itu,” begitu kita dengar di pembukaan.

Para ”orang gila”, umumnya separuh baya, berbaris di jalan, dengan kain menutupi rambut, dan duka menutup mulut. Tapi sebenarnya mereka tak diam. Estaba la Madre mengutip kisahnya dari sejarah: perempuan-perempuan itu ibu yang berdiri, yang berkabung, bertanya, menuntut, karena anak-anak mereka telah dihilangkan. Me­reka ”gila” karena di negeri yang ketakutan itu, mereka berani menggugat. Tiap Kamis mereka akan muncul di Plaza de Mayo, di seberang istana Presiden. Tiap Kamis, selama 20 tahun.

”Saya tak bisa melupakan,” kata Renee Epelbaum. ”Saya tak bisa memaafkan.” Ia pun jadi salah satu pemula himpunan ibu orang-orang yang hilang itu, yang kemudian dikenal sebagai ”Para Ibu di Plaza de Mayo”—sebuah bentuk perlawanan yang tak disangka-sangka. Mula-mula, akhir April 1977, hanya 14 perempuan yang berani melawan larangan berkumpul. Berangsur-angsur, jumlah itu jadi 400.

Tak mengherankan bila kemudian para ibu pun jadi sebuah lambang yang lebih luas cakupannya ketimbang Plaza de Mayo. Ia menandai yang universal. Opera Estaba la Madre, misalnya, mengambil asal-usul pada Stabat Mater dalam C minor yang digubah Pergolesi, menjelang komponis ini meninggal dalam umur 26 tahun pada abad ke-18. Kata-katanya berasal dari lagu puja seorang rahib Fransiskan pada abad ke-13 tentang penderitaan di Golgotha: ”Stabat Mater dolorosa iuxta crucem lacrimosa dum pendebat Filius…”—”Ibu itu di sana, berdiri, berkabung, di sisi salib tempat sang anak tergantung.”

Dan ketika dua orang dari para ibu Argentina itu pekan lalu datang ke Indonesia, mereka pun menghubungkan kisah mereka dengan apa yang terjadi di sini, di antara keluarga Indonesia yang ”hilang”.

Tentu ada beda antara Sang Ibu dalam Stabat Mater dan para ibu di Plaza de Mayo: tak ada tubuh sang anak yang mati di Argentina. Dalam pentas Estaba la Madre, kita akan menemukan Sara, ibu Si Samuel. Ia dan suaminya menanti anaknya. ”Kamis, mereka menunggunya untuk makan malam di rumah,” demikianlah paduan ­suara meningkah. Tapi Samuel tak kembali.

”Ini pukul sembilan.

Ini pukul 10.

Tengah malam

Fajar datang,

dan ia tak pernah pulang.”

Sampai hari ini orang masih bertanya, kenapa itu mesti terjadi. Mungkinkah sebuah kekuasaan yang dijaga ribuan tentara bisa begitu ketakutan?

Saya tak tahu jawabnya—meskipun saya menyaksikannya juga di Indonesia, di tahun di pertengahan 1990-an, ketika ”Tim Mawar” dibentuk untuk menculik dan menyiksa, mungkin sekali membunuh, sejumlah anak muda yang sebenarnya tak cukup kuat untuk menjatuhkan rezim Soeharto. Barangkali paranoia adalah bagian utama dari kekuasaan yang bertolak dari kebrutalan dan pembasmian—kekuasaan yang selamanya merasa tak yakin akan legitimasinya sendiri.

Mungkin sekali para petinggi tentara itu tak bisa lagi membedakan khayalan dengan keinginan. Dalam Estaba la Madre ada adegan yang tak mudah dilupakan, baik di Argentina maupun di Indonesia: tiga jenderal muncul di pentas atas, suara mereka mengancam si lemah dan meng­ajukan dalih kebersamaan—hingga terdengar menggelikan:

Hidup kemerdekaan!

Kemerdekaan bicara dan membuat orang bicara.

Hidup kemerdekaan mengaku dan membuat orang

mengaku.

Hidup kemerdekaan menjerit dan membuat mereka

menjerit.

Yang tak mereka sangka: yang menjerit tak akan bisu. Kekuasaan militer Argentina akhirnya runtuh. Dan di tembok jalan layang, di dinding kios koran, di pel­bagai sudut di Buenos Aires, kata-kata ini tertulis, bukan hanya dari Renee, tapi dari mana-mana yang dianiaya: ”Kami tak memaafkan. Kami tak melupakan.”

~Majalah Tempo Edisi Senin, 20 April 2009~

[+/-] Selengkapnya...

3 Nenek Sihir

Tiga nenek sihir muncul di tepi jalan, ketika Jendral Macbeth dan Jendral Banquo melewati hutan yang gelap berkabut itu. Cuaca didera hujan dan guntur. Mereka dalam perjalanan pulang dari sebuah pertempuran yang berhasil. Setengah ketakutan setengah ingin tahu, mereka terpacak di depan ketiga makhluk aneh itu – tiga sosok yang mengelu-elukan Macbeth dengan gelar kebangsawanan yang tinggi, seperti bagian dari sebuah ramalan yang dahsyat: bahwa Macbeth kelak bahkan akan disebut sebagai sebagai raja.

Pada detik itu, bagi perwira tinggi Skotlandia itu, masa depan tiba-tiba tampak berubah. Raja? Tahta? Benarkah puncak itu akan tercapai, jika mengingat, bahwa Duncan, raja yang diabdinya dan dibelanya dalam perang yang baru saja usai, masih kukuh berkuasa? Sahkah keinginan mencapai posisi itu, berada di kedudukan milik baginda?

Bagi saya, penting buat dicatat bahwa Macbeth, lakon Shakespare yang termashur ini dimulai dengan adegan tiga nenek sihir itu. Tiga perempuan yang ganjil, yang hidup disisihkan dari tata sosial dan percaturan kekuasaan, ternyata tak bisa diabaikan.

Justru mereka itulah yang pada akhirnya mengharu-biru tertib yang ada – dan tanpa melalui kekerasan. Di Skotlandia waktu itu tertib yang ada tak akan memungkinkan Macbeth bisa jadi raja. Adat yang berlaku tak membuka peluang bagi Macbeth untuk mengambil-alih tampuk. Tapi malam itu, di hutan berkabut itu, di bawah cuaca buruk itu, tertib, adat dan lambangnya guncang.

Tapi bukan salah para nenek sihir itu jika tertib itu akhirnya jadi keadaan yang dibangun dengan pembunuhan. Sebab Macbeth, begitu ia merasa nasib akan menjadikannya seorang raja, ia pun segera menyisihkan sang takdir. Ia tak sekedar pasif menunggu sampai keberuntungan itu datang.

Ia bertindak menyingkirkan Duncan. Bukan karena petunjuk ketiga perempuan misterius di hutan itu bila ia membunuh sang Raja. Itu sepenuhnya inisiatifnya. Itu dorongan kehendaknya yang kian kuat. Ia bahkan tak perlu lagi dihasut isterinya untuk merebut kekuasaan. Ketika nujum mengatakan bahwa kelak yang akan menggantikannya sebagai penguasa adalah anak-cucu Jendral Banquo, Macbeth pun diam-diam (bahkan tanpa memberi tahu isterinya) menyuruh agar sahabatnya dalam perang itu dibunuh. Banquo mati. Dengan itu Macbeth berharap nujum, atau “takdir”, bisa dikalahkannya.

Tapi dengan itu semua terungkap bahwa manusia dan perbuatannya-lah yang akhirnya menentukan. Takdir tak ada artinya. Tertib yang semula ditaati oleh seluruh Skotlandia terbukti bukan tertib yang datang secara alamiah, bukan tatanan yang ditentukan oleh langit. Kedudukan raja bukanlah sesuatu yang secara a priori ditetapkan. Ia seperti kursi kosong yang bisa diisi siapa saja yang bisa merebutnya. Tertib dan adat itu pada akhirnya dibentuk oleh ambisi, akal, dan antagonisme manusia.

Apalagi yang diucapkan nenek sihir itu bukan nubuat: mereka tak pernah dihormati sebagai para nabi. Wibawa mereka praktis tak ada. Ucapan mereka tak berdiri di atas (dan terlepas dari) tafsir subyektif Macbeth sendiri. Dalam adegan ke-3 Babak I sang jenderal secara tak langsung menunjukkan hal itu. Ia menyebut ketiga makhluk itu “imperfect speakers” yang cuma sebentar bicara dan kemudian menghilang ke udara malam yang basah.

Itu sebabnya Macbeth bukan hanya sebuah cerita tentang ambisi. Drama ini juga bercerita tentang kekuasaan yang tak tahu di mana mesti berhenti – dalam arti berhenti menaklukkan yang lain. Kekuasaan itu jadi lingkaran setan karena ia dimulai dengan kekerasan.

Sebelum akhirnya kekerasan itu membinasakan manusia, pada mulanya ia berupa kekerasan terhadap misteri. Macbeth mencampakkan nujum tiga nenek sihir yang sebenarnya diutarakan dalam bentuk puisi yang remang-remang dan belum selesai; ia menggantikannya dengan tafsir dan rencana yang tegar; ia mengertikan kata-kata para nenek sihir dengan harfiah. Ketika ketiga perempuan setengah gaib itu meramal bahwa Macbeth hanya bisa dikalahkan oleh seseorang yang “tak dilahirkan oleh perempuan,” jenderal itu yakin tak akan ada manusia akan bisa merubuhkannya. Padahal ternyata ada kemungkinan arti lain dari kalimat itu: Macduff, orang yang akhirnya berhasil membunuh Macbeth, dulu tak dilahirkan dengan cara normal. Ia bayi yang direnggutkan keluar setelah perut ibunya dibedah.

Betapa malangnya Macbeth: ia ambisi yang lempang seperti tombak yang keras dan menakutkan. Ia tak tahu bahwa selalu ada lapis yang tak akan tertembus olehnya. Ketiga nenek sihir itu misalnya, yang tak pernah bisa diperintahkannya dan tak pernah bisa penuh dimaknainya. Juga hutan yang gelap itu. Juga guruh dan cuaca buruk itu.

Juga rasa bersalah yang tak bisa dilenyapkan. Isterinya merasa tangannya selalu berlumur darah; tak ada minyak yang bisa membersihkannya. Macbeth sendiri melihat hantu Banquo yang dibunuhnya datang malam-malam. Kian mengusik rasa bersalah itu, kian paranoid pula ia jadinya, dan makin buas.

Lakon Macbeth akhirnya menunjukkan: betapa destruktifnya ambisi kekuasaan politik ketika ia berkali-kali ingin menembus apa yang tak tertembus, menaklukkan apa yang tak akan tertaklukkan, menghapuskan apa yang tak bisa terhapuskan, ketika ia menyangka dunia bisa dikuasai seperti dalam markas militer.

Maka biarlah di sini saya memperingatkan: Tuan bisa menculik, menyiksa, menggertak – atau, sebaliknya membeli manusia dengan uang – tapi di balik kehidupan selalu tersembunyi nenek-nenek sihir. Kalau Tuan tak tahu kapan harus berhenti, Tuan akan bertaut dengan mala – yang buruk, yang busuk, yang keji, yang akhirnya akan mengenai Tuan sendiri.

~Majalah Tempo Edisi Senin, 27 April 2009~

[+/-] Selengkapnya...